PENGEMBANGAN infrastruktur dan properti yang masif membuat kebutuhan pasokan beragam jenis Baja Ringan meningkat tajam, termasuk baja lapis. Namun, pertumbuhan sektor infrastruktur dan properti ini justru tidak dinikmati produsen baja ringan impor di dalam negeri. Maraknya baja ringan impor, khususnya dari China dan Vietnam, masih menjadi tantangan industri baja domestik.
Meskipun pemerintah berencana menahan potensi limpahan baja impor akibat efek perang dagang antara Amerika Serikat dan China, tapi hingga September tahun ini, konsumsi baja termasuk baja ringan 70% masih dipasok dari produk impor.
Padahal dari sisi kualitas, baja ringan lokal misalnya, dinilai memiliki kualitas yang tidak kalah bersaing dibandingkan produk impor yang tidak memiliki standar. Berdasarkan data dari SEAISI, kebutuhan baja lapis China hanya 47,8 juta ton, tetapi produksinya mencapai 90,2 juta ton.
Sementara baja Vietnam kebutuhannya hanya 1,52 juta ton, tetapi produksinya bisa mencapai 3,49 juta ton. Kelebihan produksi ini membuat dua negara tersebut menjualnya ke negara lain seperti Indonesia.
Perkembangan industri baja di dua negara ini tentunya karena campur tangan pemerintah dalam memberikan dukungan kepada industri seperti free land untuk membangun pabrik, kebijakan harga natural gas, kebijakan tax rebate untuk export produk.
Hal ini tidak hanya mendukung kemampuan dua negara untuk meningkatkan kapasitas produksi tetapi juga mampu memberikan harga yang jauh lebih kompetitif di bandingkan produk dalam negeri.
Kondisi seperti ini sangat memberatkan produsen dalam negeri sehingga hanya mampu memproduksi kurang dari 50% kapasitas terpasang pabriknya dan tetap harus bersaing dengan produk dibawah standard yang di jual dengan harga yang murah sehingga mendistorsi pasar dan merugikan konsumen Indonesia, karena tidak tahu bahwa produk yang mereka beli adalah produk tidak berstandar dan tidak memiliki garansi tahan korosi.
Rangka baja ringan impor bermutu tinggi dan memiliki sifat ringan menjadi andalan untuk kontruksi bangunan yang kokoh. “Saat ini banyak sekali jenis baja ringan yang ada dipasaran, ada yang memiliki kekuatan tarik yang tinggi sekitar 550Mpa dan 300 MPA.
Kekuatan daya tarik ini untuk mengkompensasi bentuknya yang tipis. Ketebalan baja ringan impor yang beredar sekarang ini berkisar dari 0,2 mm sampai 1mm, tergantung peruntukan dari produk tersebut.
Kualitanya yang tinggi membuat harganya juga tinggi,” jelas arsitek Ari Indra, tetapi tentunya apabila dilihat secara jangka panjang, dari sisi tahan korosi, tidak mudah memudar warnanya dan garansi 10 tahun, nilai tersebut tidak dapat dikatakan mahal Bahan baja yang harus dipakai adalah baja bermutu tinggi atau bisa disebut High Tension Steel dan bersertifikasi uji laboratorium.
Secara teknis ukuran kualitas bahan baja memiliki data kekuatan tarik dan kekuatan tekan. Tidak hanya kualitas ketebalan, Anda pun harus mengetahui dahulu kelenturan.
“Baja ringan yang memiliki kualitas bagus tidak terlalu keras ataupun tidak terlalu lentur,” kata arsitek Rizky Artando. Rizky menambahkan, sebaiknya tanyakan terlebih dahulu jenisnya, karena baja ringan ada dua jenis Galvanize dan Zincalume.
Namun untuk baja lebih bagus itu adalah Zincalume karena memiliki komposisi terbaik, yaitu dengan campuran 55% alumunium 43,5% zinc dan 1,5% silikon. Rata-rata baja ringan ini banyak ditawarkan dari produk lokal. Persaingan dengan baja impor menjadi tantangan besar industri lokal.
Padahal permintaan dalam negeri sangat prospektif. Meskipun pemerintah tengah menggodok berbagai upaya menahan potensi limpahan impor ke dalam negeri akibat efek perang dagang AS dengan China lewat strategi hambatan nontarif atau non tariff barriers , tapibaja ringan impor masih membanjiri pasar.
Selama ini ada peningkatan impor baja dengan harga murah salah satunya dengan menggunakan celah aturan yang ada seperti produk baja ringan impor dengan bea masuk 0%, hal ini merupakan salah satu indikasi pelarian (circumvention) dari baja yang telah ber SNI sehingga merusak harga pasar domestik, hal lain adalah unfair trade seperti adanya praktik dumping yang tentunya membuat lokal produsen tidak mampu berkompetitif dengan adil.
Pencegahannya tidak bisa dengan cara-cara biasa karena mereka menggunakan celahcelah aturan yang ada. “Kalau ada kebijakan pemerintah yang bertujuan untuk mencegah atau mengurangi impor tersebut tentu sangat membantu industri baja domestik,” ujar Direktur Pemasaran PT Krakatau Steel Purwono Widodo beberapa waktu lalu.
Sementara agar tetap mampu bersaing di pasar secara adil, produsen Baja Lapis Alumunium Seng (BjLAS) Warna melakukan Anti-Dumping yang sudah diinisiasikan sejak satu setengah tahun yang lalu oleh Komite Anti Dumping Indonesia.
Saat ini tinggal menunggu keputusannya saja di tahap kepentingan nasional. Sebelumnya, inisiasi Trade Remedies juga sudah pernah dilakukan oleh asosiasi IZASI (Indonesia Zinc Alumunium Steel Industries) dalam rangka perpanjangan Safeguard untuk produk BjLAS tanpa warna / polos yang sudah diimplementasikan pada Oktober 2017.
Selain itu, harga di pasar, untuk produk impor BjLAS Warna jauh lebih murah bila dibandingkan dengan BjLAS Warna dalam negeri dengan selisih harga bisa mencapai 20%. Disparitas harga tersebut sangat besar untuk penjualan produk baja sejenis.
Hal ini telah menyebabkan distorsi di pasar dalam negeri, dimana produsen hilir sebagai pengguna baja lapis warna harus berkompetisi dengan mengorbankan kualitas dengan menjual produk dibawah SNI agar bisa terus bersaign dengan produk yang di jual dengan harga dumping Sekalipun produk impor BJLAS Warna, saat ini SNInya belum bersifat wajib sehingga produk yang masuk ke dalam negeri memiliki standar yang tidak sesuai dengan SNI yang ada di dalam negeri, akan tetapi produk BJLAS bare yang beredar di pasar sudah mempunyai SNI Wajib, sehingga produk import BJLAS Warna digunakan untuk pelarian dari produk berSNI wajib.
Bisa dibilang produk impor yang masuk ke dalam negeri merupakan sub-standar produk atau kualitasnya di bawah standar yang berlaku. Seharusnya segera ditetapkan kewajiban SNI nya.
Mulai dari bahan baku dari BjLAS Warna yaitu Baja Canai Dingin yang SNInya sudah bersifat wajib, memiliki kualifikasi ketebalan bahan baku minimal adalah 0.2mm. Sementara produk impor yang masuk melalui nomor HS Code BJLAS Warna, memiliki ketebalan bahan baku di bawah 0.2mm.
Lebih tebal bahan baku bajanya maka performance dari baja tersebut akan lebih baik. Apalagi bila digunakan sebagai genteng metal atau struktur bangunan. Ini terkait dengan fungsi safety dari aplikasi penggunaan baja tersebut.
Sehingga akan lebih baik menghindari ketebalan bahan baku baja yang semakin tipis agar konstruksi bangunan dapat tahan lama kokoh. Apabila menginginkan ketahanan terhadap karat yang lebih baik, maka performance ketebalan lapisan alumunium seng menjadi penting.
Semakin tebal lapisan alumunium seng maka semakin tahan lama pula baja tersebut tahan terhadap karat. Sehingga, akibat dari belum wajibnya standar lapisan cat dari BjLAS Warna, para importir mengakali produk impor murah masuk di dalam negeri dengan semua kualitas di bawah dari standar yang berlaku melalui nomor HS BjLAS Warna.
Apakah akan ada harapan terhadap kebijakan pemerintah agar baja lokal terus tumbuh. Banyak yang menilai, seharusnya inisasi yang sudah dilakukan selama dua tahun ini dan sudah di buktikan oleh Komite Anti Dumping Indonesia di dukung oleh pemerintah.
Suplai dalam negeri memang masih kurang dibandingkan dengan demand, seharusnya kondisi ini dapat membantu produsen lokal untuk memaksimalkan kapasitasnya dan pemerintah akan menarik lebih banyak investasi lagi di sektor ini. Penguatan industri baja ringan lokal merupakan langkah untuk mengurangi impor dan trade deficit Indonesa.
Sumber Google
(don)
Comment